Senin, 07 September 2009

KEBENARAN oleh Yakob Soemardjo



Sebuah renungan dan Kontemplasi

Buruknya pula, semua orang suka jadi hakim. Dan, hakim yang bodoh secelaka-celakanya keadaan. Kebodohan ini pula yang sudah membunuh Socrates, Giordano Bruno, dan Galileo, dan Jesus. Begitu kataPramoedya Ananta Toer dalam cerpen Dendam.
Setiap hari kita menghakimi orang lain, baik yang kita kenal dalam kehidupan sehari-hari maupun yang kita kenal melalui kata-kata dan gambar. Manusia menganggap pikiran dan pengetahuannya sendiri yang paling benar. Itulah yang merupakan pasal-pasal dan perundangan dirinya untuk menghakimi orang lain. Manusia lain itu penuh kesalahan dan dirinyalah yang paling benar.

KEBENARAN
Apakah salah dan benar itu? Salah dan benar itu paradoks. Sesuatu dinilai benar oleh guru, di mata murid-murid salah. Benar menurut tentara, salah besar menurut rakyat. Benar oleh orang kelaparan, salah bagi mereka yang kekenyangan. Ahli pikir yang satu berseberangan dengan ahli pikir yang lain. Jadi, mana yang benar dan mana yang salah? Setiap orang mempunyai "kebenaran" sendiri. Dan, kebenaran itulah yang dipakai untuk menghakimi yang lain.
Nilai salah dan benar seperti itu pada dasarnya adalah pengetahuan, yaitu pendidikan. Jadi, bersifat subyektif, baik individual maupun kolektif. Setiap orang dididik untuk belajar pasal-pasal kebenaran dan kesalahan dalam berbagai versinya. Dan seperti kita lihat, bisa saling bertentangan. Yang benar dinilai salah, yang salah dinilai benar, tergantung dari "ajaran" mana Anda berasal. Saling ngotot dalam mempertahankan kebenaran masing-masing hanya mungkin diakhiri dengan perang. Pengetahuan saya yang hidup atau pengetahuan Anda yang mati.
Tetapi, salah dan benar itu berupa tindakan, peristiwa, nyata ada dan semua manusia mampu melihatnya. Salah dan benar itu juga obyektif. Kejadiannya memang demikian. Perbuatan dan tindakannya memang demikian.
Itulah yang ada, yang terjadi, menyejarah. Dan, penghakiman itu juga nyata. Penghakiman itu bukan hanya terjadi dalam kepala. Penghakiman itu empirik. Membunuh dan menganiaya dalam pikiran itu boleh-boleh saja, tetapi kalau penghakiman itu mengetok palu pada kehidupan ini, maka yang mati benar-benar mati, yang luka itu benar-benar menderita. Inilah nilai-nilai yang terasa, terhayati, eksisten, dunia itu sendiri.
Menghakimi dalam pikiran itu, selama belum dinyatakan dalam perbuatan, adalah urusan tiap orang. Tetapi, begitu dinyatakan dalam pengalaman, ia telah menyangkut banyak orang. Entah ia dinyatakan dalam ucapanlisan atau tertulis, dan lebih-lebih dalam peristiwa.

HATI NURANI
Hati nurani Benar dan salah itu bisa dicari dalam bentuk peristiwa itu sendiri, bukan dari pasal-pasal pikiran subyektif. Nilai-nilai benar dan salah tersebut telah ada dalam bentuk tindakan. Dan, pasal-pasalnya tidak bisa ditulis atau diungkapkan karena berada di kedalaman nurani manusia.
Kebenaran obyektif itu bersifat spiritual. Orang banyak menyebutnya"Hati Nurani". Dari anak-anak sampai kakek-kakek, dari yang bodoh sampai yang tinggi pengetahuan, dari yang berkuasa sampai yang dikuasai, dari satu ajaran kebenaran sampai ajaran kebenaran yanglain, dari yang termiskin sampai yang kaya raya, semua memiliki kebenaran itu. Tetapi, kebenaran itu ada di lubuk hati manusia.Biasanya baru disadari dalam renungan yang mendalam.
Penghakiman, menentukan benar dan salah, adalah kesesuaian antara hatinurani dan peristiwanya sendiri. Itulah keadilan. Hati nurani melihat, manusia tidak melihatnya. Bertindak adil, menghakimi secara adil, adalah penghakiman hati nurani yang melewati proses perenungan yang tidak sederhana. Menghakimi secara cepat adalah penghakiman subyektif manusia. Menghakimi manusia lain itu tidak bisa serta-merta dengan bekal kebenarannya sendiri-sendiri. Menghakimi itu merenungi. Dan, selama merenung jangan berbuat apa-apa, juga dalam ucapan, apalagi tindakan.
Itulah yang oleh Pramoedya disebut "hakim yang bodoh". Celakalah negeri yang dipenuhi oleh hakim-hakim bodoh semacam itu. Hakim-hakim(kita-kita ini) yang menghakimi secara cepat berdasar kebenaran subyektifnya yang instan, serta hakim-hakim yang tidak bernurani. Agar tidak bodoh, diperlukan keterbukaan sikap dan spiritualitas.

KEBENARAN SUBYEKTIF
Kalau manusia mau bertindak sebagai hakim, ia harus cerdas secara subyektif. Orang ini menyadari, nilai-nilai kebenarannya subyektif,dan karena itu terbatas. Untuk itu ia harus terbuka, toleran, maumendengar "kebenaran-kebenaran" yang lain. Hakim yang bodoh adalah hakim yang berkacamata kuda. Hanya melihat satu arah dan tidak mau mendengarkan arah kiri kanan dan belakang. Sejarah membuktikan, penghakiman seperti ini memakan korban seperti disebutkan Pram, Socrates, Galileo, Bruno, dan ribuan yang lain.
Jika manusia mau bertindak sebagai hakim juga harus cerdas secara spiritual, maka ia bukan hanya harus terbuka bagi pengalaman empiriknya, tetapi juga terbuka bagi pengalaman transendennya. Kepekaan transenden kadang menghasilkan sesuatu yang paradoksal dipandang dari pengalaman empirik atau ajaran "baku" subyektifnya. Kebenaran yang nyleneh, di luar kebiasaan. Kebenaran nurani kadang menyakitkan bagi yang berkacamata kuda.
Hakim manusia yang terbuka dan reflektif itulah yang obyektif, yaitu hakim yang cerdas emosi dan spiritualnya. Ia mampu melihat kebenarandan kesalahan yang melampaui batas-batas kebenarannya yang subyektif, personal, maupun kolektif. Kejujuran pada diri sendiri itulah yang dibutuhkan. Kebenaran yang padanya saya menyatakan ya, bernilai positif dan saya butuhkan, selalu lebih besar, lebih luas, dan lebih dalam dari dunia ini. Orang kadang melakukan perbuatan benar atau salah di luar dugaan siapa pun sehingga orang dibuat bingung untuk menilainya.
Kebiasaan kita yang dengan cepat menghakimi orang lain tanpa lebihdulu memahami peristiwanya, nyaris merupakan cara hidup mutakhir kita. Kita menjadi "hakim yang bodoh". Dan, kebodohan menyesatkan manusia. Jangan menghakimi karena engkau akan dihakimi sesuai penghakimanmu.

Senin, 06 Oktober 2008

Candi

Pernahkah anda berkunjung/wisata ke obyek sejarah ? Banyak orang berasosiasi pikirannya ke candi jika ditanya perihal obyek wisata bersejarah. Tentu bagi mereka yang tempat tinggalnya berdekatan dengan situs obyek candi, langsung akan menjawab “candi”! Orang/masyarakat Maluku akan teringat benteng peninggalan Portugis atau Belanda. Pun demikian dengan penduduk propinsi Bengkulu bila ditanya dengan pertanyaan serupa. Masyarakat Cirebon, Jogja, Inderapura dan Pontianak yang tinggal di dekat bekas-bekas pusat kerajaan akan menyebut Istana atau keraton. Peninggalan bersejarah berupa candi banyak dijumpai di Jawa Tengah dan Jawa Timur hanya sedikit yang berada di Jawa Barat dan Sumatra.
Meski berdekatan dengan candi, cukup banyak warga ke dua propinsi yang berdekatan dengan candi, tidak mengerti tentang candi. Tulisan berikut sekedar sharing informasi mengenai candi, meski telah banyak tulisan diberbagai media yang mencoba menjelaskan tentang candi secara lebih spesifik.

ARTI CANDI

Patung Civa Mahadewi = Roro JonggrangWikipedia mendefinisikan Candi sebagai bangunan tempat ibadah dari peninggalan masa lampau yang berasal dari agama Hindu-Buddha. Prof. HJ Krom dan Dr. WF Stutterheim mengartikan candi dari asal katanya CANDIKA. Candika = Dewi maut (di Indonesia dikenal Bethari Durga = Durga Sura Mahesa Mardhani) dan GRHA = GRAHA = GRIYA/GRIYO yang artinya rumah. Jadi Candi menurut mereka adalah rumah untuk bethari Durga = rumah dewi maut. Wujud Ciwa Durga Sura Mahesa Mardhani dapat kita jumpai di candi Prambanan pada Candi Ciwa, pada wujud patung yang oleh masyarakat setempat dikenal sebagai Roro Jonggrang.
Istilah 'candi' tidak hanya digunakan oleh masyarakat untuk menyebut tempat ibadah dengan bentuk bangunan layaknya bangunan peribadatan saja. Hampir semua situs-situs purbakala dari masa Hindu-Budha atau Klasik Indonesia, baik sebagai istana, pemandian/petirtaan, gapura, dan sebagainya, disebut dengan istilah candi.

STRUKTUR CANDI

Secara umum struktur candi dipilah tersusun tiga bagian tegak (vertikal). Bagian kaki candi disebut BHURLOKA melambangkan dunia manusia (dunia bawah=bhumi); bagian tubuh candi disebut BHUVARLOKA melambangkan dunia untuk yang disucikan; dan bagian atap candi dikenal dengan SVARLOKA yang merupakan dunia dewa-dewa.
Pada candi Borobudur (Budha) Struktur kaki terdapat dilapisan KAMADHATU yaitu perlambang dunia yang masih dikuasai oleh kama atau "nafsu rendah". Relief kisah Kammawibhangga terpahatkan di dindingnya meski hanya beberapa panel yang tampak. Menumpuk di atas lapisan kamadhatu terdapat empat lantai lapisan dengan dinding berelief yang dinamai para ahli arkeologi sebagai lapisan RUPADHATU melambangkan dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Tingkatan rupadhatu melambangkan alam antara yakni, antara alam bawah dan alam atas. Pahatan patung Budha di lapisan ini, diletakkan di ceruk-ceruk dinding di atas selasar. Tigkatan paling atas (head) atap candi pada Borobudur disebut lapisan ARUPADHATU = lapisan tidak berwujud. Tingkatan ini berlantai dasar bundar melambangkan alam atas, symbol manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa, namun belum mencapai sorga (nirwana). Patung Budha pada lapisan ini diletakkan di dalam stupa bertutup dengan rongga-rongga berbentuk belah ketupat dan persegi. Tingkatan tertinggi yang menggambarkan ketiadaan wujud dilambangkan berupa stupa yang terbesar dan tertinggi. Stupanya polos tanpa rongga.
Struktur candi Borobudur mengingatkan kita akan konsep awal arsitektur bangunan di masa purba Indonesia berupa punden berundak-undak. Beberapa ahli arkeologi arsitek klasik berpendapat bahwa struktur candi Borobudur mendapatkan pengaruh kekuatan ‘lokal genius’ nenek moyang bangsa Indonesia di masa purba itu.

FUNGSI CANDI

Hampir semua ahli sejarah sependapat bahwa konsep dan arsitek candi berasal dari pengaruh Hindu dari India yang menyebar pengaruhnya hingga ke Nusantara sekitar abad ke 4 hingga abad ke 15. Pengertian pengaruh Hindu di sini adalah untuk menyebut semua bentuk pengaruh yang berasal dari India yang masuk ke Nusantara pada periode yang disebutkan di atas. Pengaruh-pengaruh itu diantaranya agama/kepercayaan Hindu dan Budha dengan tata cara ritualnya, Bahasa dan tulisan (Sansekerta dan Palawa), Konsep kasta dalam masyarakat (stratifikasi sosial), sistem pemerintahan feodal dan arsitektur bangunan.
Dari tempat asalnya, fungsi candi merupakan bangunan suci untuk pemujaan/upacara ritual kepada para dewa. Setibanya di Nusantara fungsi candi tidak hanya difungsikan untuk pemujaan (bangunan suci) tetapi juga untuk tempat perabuan (baca=kuburan). Dimasa kerajaan Hindu-Budha berjaya di tanah air, jenazah para raja yang diyakini sebagai titisan dewa setelah dikremasi (diperabukan=dibakar) ditanam di candi pada suatu wadah yang disebut peripih. Dalam istilah kuno proses ritual demikian diistilahkan dengan kata dicandikan, artinya dimakamkan di candi.
Sebagaimana kita pahami di atas, bahwa pengertian candi di Indonesia tidak hanya dipakai untuk menyebut peninggalan-peninggalan masa klasik dalam bentuknya seperti bangunan suci tempat ibadah/ritual. Terdapat banyak peninggalan berupa ‘patirtan’ atau tempat pemandian. Tentu saja peninggalan seperti ini dahulu difungsikan sebagai tempat mandi dan aktifitas sehari-hari seperti mandi dan cuci atau tempat pemandian para putri raja dan kerabatnya. Demikian pula bentuk candi berupa keraton dan gapura. Keraton merupakan tempat tinggal dan pusat pemerintahan raja yang memerintah,dan gapura difungsikan sebagai tempat pintu masuk ke wilyah keraton atau tempat penting lainnya.

PERBANDINGAN CANDI DI JAWA TENGAH DAN DI JAWA TIMUR

Pabila kita perhatikan lebih spesifik, terdapat banyak perbedaan antara candi-candi yang ada di Jawa Tengah dengan candi-candi yang ada di Jawa Timur. Memang ada persamaannya seperti fungsi dan strukturnya secara umum. Perbedaan-perbedaan spesifik candi di kedua wilayah itu diantaranya adalah; 1. Segi bentuk candinya. Secara umum candi-candi yang ada di Jawa Tengah bentuknya terkesan tambun (gemuk) sedangkan di Jatim lebih ramping.
2. Pada pintu (relung pintu masuk) terdapat KALA-MAKARA yang di Jatim jarang dijumpai Makaranya.
3. Relief yang terpahat pada dinding candi-candi di Jawa Tengah adalah relief timbul dengan gaya naturalis sementara pada candi-candi di Jawa Timur sedikit timbul dengan gaya impresif.
Relung Pintu Masuk Borobudur4. Di Jateng, candi induk diletakkan di tengah komplek perandian sedangkan di Jatim agak kebelakang.
5. Candi-candi di Jateng banyak yang menghadap ke timur, dan yang berada di Jatim banyak berarah hadap ke barat.
6. Bahan baku pembuatan candi di Jawa Tengah dari batu andesit (batuan vulkanik/batu kali) dan di Jawa Timur sebagian besar terbuat dari batu bata (bata merah = dari tanah liat).
Masih banyak perbedaan-perbedaan yang secara spesifik dapat dikemukakan, namun keenam perbedaan di atas dengan cepat dapat kita perbandingkan.
Anda mulai tertarik dengan candi? Pergi dan pelajarilah. Anda akan banyak memperoleh pelajaran dari masa silam itu. Peninggalan-peninggalan kuno berupa candi banyak berbicara dalam ‘kebisuannya’. Candi-candi itu menggelar fakta-fakta masa lampau yang harus kita ‘baca’ kita ambil manfaat pelajaran yang diperoleh darinya. Kearifan nenek moyang bangsa ini di masa lampau jelas tergurat dalam setiap bentuk pada candi. Filosofi of life masa silam itupun banyak tersiratkan di panel-panel reliefnya.
Selamat ‘berkelana’ ke masa silam anda.

Minggu, 05 Oktober 2008

Amole Alumni YPJ-KK


Himbauan dan Undangan bagi para Alumni YPJ-KK dimanapun anda berada.
Web ini tersedia untuk melayani dan menjadi alat komunikasi bagi anda para alumni. Silahkan anda memanfaatkannya secara positif dan peruntukkanlah bagi persatuan dan kerekatan para alumni YPJ-KK.
Kami guru-guru YPJ-KK menghimbau dan mengundang anda semua berpartisipasi mengembangkan web ini.
Wassalam,

Guru anda